Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia iaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna).
Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”.
Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat dimpamakan seperti kesatuan transenden antara tidakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan sperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamman ini dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
Suluk Jebeng. Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbimcanganmengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diir yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh sperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya.
Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahsia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan
Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna
Belajar Ilmu Kehidupan
Sabtu, 17 Maret 2012
Punokawan
Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam lidah jawa kata Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.
Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka berlagak bodoh. Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh panakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan.
Pamomong dapat diartikan pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri. Karakter Panakawan sebenarnya muncul berdasarkan penuturan Puntadewa / Dharmakusuma (satu-satunya dari Pandawa yang memeluk Islam) kepada Sunan Kalijaga dalam komunikasi ghaib sesama aulia. Dijelaskan juga bahwa selain Semar, para panakawan yang dinyatakan sebagai anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) sebenarnya adalah dari bangsa Jin.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama.
Lakon goro-goro pun menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas sebagaimana sebuah doa: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa’arinal bathila-bathila warzuknat tinaba, artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukillah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.
Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka berlagak bodoh. Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh panakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan.
Pamomong dapat diartikan pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri. Karakter Panakawan sebenarnya muncul berdasarkan penuturan Puntadewa / Dharmakusuma (satu-satunya dari Pandawa yang memeluk Islam) kepada Sunan Kalijaga dalam komunikasi ghaib sesama aulia. Dijelaskan juga bahwa selain Semar, para panakawan yang dinyatakan sebagai anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) sebenarnya adalah dari bangsa Jin.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama.
Lakon goro-goro pun menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas sebagaimana sebuah doa: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa’arinal bathila-bathila warzuknat tinaba, artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukillah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.
Langganan:
Komentar (Atom)